Saturday, April 4, 2009

4 Negara masuk daftar hitam

Empat Negara Masuk Daftar Hitam sebagai Tempat Berlindung Pengemplang Pajak
LONDON - Organisasi Kerja Sama dan Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memasukkan empat negara ke daftar hitam sebagai tempat berlindung para pengemplang pajak (tax havens). Empat negara itu dianggap tidak mau bekerja sama memberantas kejahatan pajak internasional dan menolak mengadopsi aturan baru mengenai keterbukaan perbankan dan finansial.

OECD menerbitkan daftar negara penyedia fasilitas keringanan pajak sesuai kesepakatan konferensi G-20 di London yang berakhir Kamis lalu (2/4). Secara keseluruhan, organisasi yang berpusat di Paris itu menggolongkan dalam tiga klasifikasi.

Yaitu, negara yang mengikuti aturan dan berbagi informasi pajak (daftar putih). Kemudian, negara yang menyatakan akan mengikuti aturan, namun belum melakukan apa pun (daftar abu-abu). Terakhir, negara yang belum menyetujui perubahan aturan perbankan (daftar hitam).

Empat negara yang masuk daftar hitam adalah Malaysia (negara bagian Labuan), Filipina, Kosta Rika, dan Uruguay. Sedangkan yang masuk daftar abu-abu ada 38 negara. ''Transparansi menjadi problem utama dalam perekonomian dunia saat ini,'' kata Sekretaris Menteri Keuangan Inggris Stephen Timms di London kemarin.

G-20 mengancam memberikan sanksi tegas kepada negara yang menolak bekerja sama soal pajak. Negara itu bisa dikeluarkan dari keanggotaan Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional (IMF). ''Era kerahasiaan perbankan sudah berakhir. Semua ingin mengadili surga pengemplang pajak,'' imbuh Presiden Prancis Nicolas Sarkozy.

Berdasar data Transparansi Internasional Prancis, terdapat 50 tax havens di seluruh dunia. Di beberapa negara dan teritori yang tergolong tax havens terdapat kantor lebih dari 400 bank internasional. Di sana ada dua per tiga hedge funds (pengelola dana), dua juta perusahaan top dunia dengan aset lebih dari USD 10 triliun.

Swiss yang dikenal memiliki tradisi rahasia perbankan yang sangat ketat berjanji akan melonggarkan aturan mereka. Begitu pula, sejumlah negara yang masuk daftar abu-abu. Selain Swiss, yang masuk daftar abu-abu adalah Singapura, Brunei Darussalam, Bermuda, dan Cayman.

Filipina yang masuk daftar hitam menolak negerinya disebut tidak mau bekerja sama menerapkan aturan perpajakan internasional. Cerge Remonde, juru bicara Presiden Filipina Gloria Arroyo, menyebutkan bahwa aturan perpajakan di negaranya hanya tidak ada yang memenuhi kriteria OECD. ''Kami komit memenuhi standar internasional agar terbebas dari daftar hitam,'' imbuh Cerge Remonde.

PM Malaysia Najib Razak juga menolak negerinya dimasukkan daftar hitam. Najib yang baru saja menjadi orang nomor satu di negeri jiran itu menyatakan, secara praktik Malaysia sudah komit memenuhi standar perpajakan OECD.

Posisi Netral

Indonesia dinilai semakin punya peran signifikan dalam peta perekonomian dunia. Seperti dalam pertemuan kelompok negara maju dan berkembang G-20, suara Indonesia selalu didengar sebagai wakil dari negara berkembang. ''Beberapa keputusan yang diambil dalam pertemuan G-20 di London adalah kontribusi Indonesia,'' terang Mensesneg Hatta Radjasa saat berdiskusi dengan redaksi Jawa Pos di Graha Pena, Surabaya, kemarin.

Menurut Menko Kesra Aburizal Bakrie, sikap Indonesia dalam forum G-20 adalah netral. Tidak pro kepada paham liberalisme, neoliberalisme, atau sosialisme. Itu juga tecermin dalam APBN yang masih ada subsidi. ''Buktinya negara ini selalu menyediakan anggaran belanja untuk keperluan subsidi masyarakat miskin. Selain itu, Indonesia menganut pasar terbuka,'' katanya.

Menurut dia, jika menganut liberalisme, suatu negara tidak akan mengalokasikan sebagian anggaran untuk subsidi. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar. ''Subsidi tahun lalu mencapai ratusan triliun rupiah. Itulah salah satu bentuk intervensi pemerintah sehingga tidak terjadi permasalahan di sektor-sektor tertentu,'' terangnya dalam diskusi yang juga dihadiri Menkominfo M. Nuh itu.

Hatta menambahkan, intervensi pemerintah terhadap pasar juga penting. Sebab, pasar yang dibiarkan sangat bebas seperti yang dianut di sistem liberal suatu saat akan menimbulkan masalah, misalnya kesenjangan.

Ke depan, pemerintah Indonesia menginginkan adanya perubahan terhadap arsitektur perekonomian global saat ini. Tujuannya, negara-negara yang tidak terlalu terlibat dalam transaksi-transaksi berisiko terhindar dari dampak kerugian jika hal tersebut menjadi masalah.

BI Rate Terendah sejak 2005

Sementara itu, tren penurunan suku bunga BI rate masih terus berlanjut. Namun, kali ini penurunan suku bunga acuan itu tidak seagresif tiga bulan terakhir. Dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI kemarin, bank sentral memangkas BI rate 0,25 persen (25 bps) menjadi 7,5 persen.

Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono mengatakan, penurunan diputuskan hanya 25 bps karena dalam beberapa bulan terakhir sudah banyak dikoreksi.

''Kita perlu memonitor dari waktu ke waktu. Sebelum ini, sudah banyak turun meski room masih ada,'' ujar Hartadi setelah RDG di Kantor BI Jakarta kemarin (3/4). Dia berharap penurunan itu masih bisa menstimulasi penurunan suku bunga kredit perbankan.(AP/AFP/Reuters/luq/sof/oki)

No comments: